TB Paru
"Are we there yet?"
Mungkin hal itu yang sering kulantunkan dalam kantuk selama perjalanan road trip lintas Jawa bersama keluarga.
"Are we..."
Belum bulat namun tubuh sudah menggeliat tukar posisi tidur yang nyenyak; menempel jendela kaca mobil Fortuner 2.7 G Luxury warna hitam. Ya, memang seperti itulah kerjaanku di dalam mobil. Mungkin tidur memang obat dari ketakutan berada dalam ruang sempit. Membayangkan ubun-ubun yang menempel dekat dengan atap mobil saja sudah berhasil membuat bulu kudukku merinding. Thanks to claustrophobia.
Fast forward ke hari ini, mungkin pertanyaan tersebut bisa digunakan untuk hal lain. Seiring dengan kesibukan mencari 'angka' di ibu kota, kegiatan road trip seringnya hanya berujung di WhatsApp grup keluarga saja. Seperti Hari Raya tahun ini yang seharusnya bisa membakar rindu belasan tahunku pada kampung halaman, bau tanah kota Solo, atau panasnya kebun binatang Jurug, semua rencana yang tersusun rapih untuk mengunjungi makam Eyang tahun ini terhenti karena satu dan lain hal.
Sudah sampai mana kah kita di lorong kehidupan ini?
Setelah mendapat diagnosa dan hasil lab beberapa hari yang lalu, hal tersebut terus melayang di dalam pikiran.
Are we there yet, to our death?
Hampir 3 bulan merasa tersiksa dengan batuk yang menyakitkan, ternyata TB adalah biang keroknya. Pantas saja tubuhku mengalami sedikit penurunan berat, walaupun tidak drastis. Dan hingga saat ini angkanya masih berada di titik tersebut. Tidak turun maupun naik. Apakah waktunya sudah dekat? My fear gets the best of me. Stress dalam diam, tersembunyi dengan baik dalam balutan daging. Namun alam bawah sadar tidak pernah berkhianat. Sering berkeringat jadi salah satu tanda bahwa diri ini sedang mengalami shock yang luar biasa.
Sekarang apa? Satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan ini "sudah sampai mana kah kita di lorong kehidupan ini?" adalah dengan terus berjalan dalam kondisi terbaikku. Mungkin di perjalanannya Tuhan membuka jalan yang lain. Mungkin di dalam gelap dan takutku ada terang yang mengarahkan jalan. Yang jelas aku tidak akan berhenti berjuang untuk menjalani pengobatan 6 bulan ini. Seperti ibu dulu, mungkin beliau terlihat menderita dengan badan yang kurus kering akibat TB yang dideritanya saat itu, tapi ingat lagi bahwa kondisi tubuh setiap orang itu berbeda-beda. Bersyukur tubuhku ini masih kuat menjalani kesibukan mencari angka setiap harinya, ya walaupun harus sedikit muntah dan kedinginan. Mungkin pikiranku yang senantiasa menolak bahwa diri ini sakit yang selama ini telah membantu. Percayalah, apa yang kalian pikirkan, itu yang kalian dapatkan. Tuhan bekerja sedetail itu, untuk kita semua berpikir dan bertindak lebih bijaksana ke depannya.
"Aku sehat dan baik-baik saja."
Mungkin hal itu yang sering kulantunkan dalam kantuk selama perjalanan road trip lintas Jawa bersama keluarga.
"Are we..."
Belum bulat namun tubuh sudah menggeliat tukar posisi tidur yang nyenyak; menempel jendela kaca mobil Fortuner 2.7 G Luxury warna hitam. Ya, memang seperti itulah kerjaanku di dalam mobil. Mungkin tidur memang obat dari ketakutan berada dalam ruang sempit. Membayangkan ubun-ubun yang menempel dekat dengan atap mobil saja sudah berhasil membuat bulu kudukku merinding. Thanks to claustrophobia.
Fast forward ke hari ini, mungkin pertanyaan tersebut bisa digunakan untuk hal lain. Seiring dengan kesibukan mencari 'angka' di ibu kota, kegiatan road trip seringnya hanya berujung di WhatsApp grup keluarga saja. Seperti Hari Raya tahun ini yang seharusnya bisa membakar rindu belasan tahunku pada kampung halaman, bau tanah kota Solo, atau panasnya kebun binatang Jurug, semua rencana yang tersusun rapih untuk mengunjungi makam Eyang tahun ini terhenti karena satu dan lain hal.
Sudah sampai mana kah kita di lorong kehidupan ini?
Setelah mendapat diagnosa dan hasil lab beberapa hari yang lalu, hal tersebut terus melayang di dalam pikiran.
Are we there yet, to our death?
Hampir 3 bulan merasa tersiksa dengan batuk yang menyakitkan, ternyata TB adalah biang keroknya. Pantas saja tubuhku mengalami sedikit penurunan berat, walaupun tidak drastis. Dan hingga saat ini angkanya masih berada di titik tersebut. Tidak turun maupun naik. Apakah waktunya sudah dekat? My fear gets the best of me. Stress dalam diam, tersembunyi dengan baik dalam balutan daging. Namun alam bawah sadar tidak pernah berkhianat. Sering berkeringat jadi salah satu tanda bahwa diri ini sedang mengalami shock yang luar biasa.
Sekarang apa? Satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan ini "sudah sampai mana kah kita di lorong kehidupan ini?" adalah dengan terus berjalan dalam kondisi terbaikku. Mungkin di perjalanannya Tuhan membuka jalan yang lain. Mungkin di dalam gelap dan takutku ada terang yang mengarahkan jalan. Yang jelas aku tidak akan berhenti berjuang untuk menjalani pengobatan 6 bulan ini. Seperti ibu dulu, mungkin beliau terlihat menderita dengan badan yang kurus kering akibat TB yang dideritanya saat itu, tapi ingat lagi bahwa kondisi tubuh setiap orang itu berbeda-beda. Bersyukur tubuhku ini masih kuat menjalani kesibukan mencari angka setiap harinya, ya walaupun harus sedikit muntah dan kedinginan. Mungkin pikiranku yang senantiasa menolak bahwa diri ini sakit yang selama ini telah membantu. Percayalah, apa yang kalian pikirkan, itu yang kalian dapatkan. Tuhan bekerja sedetail itu, untuk kita semua berpikir dan bertindak lebih bijaksana ke depannya.
"Aku sehat dan baik-baik saja."