Very Short Story #1
"Aku nggak pernah tau kapan kita bisa barengan lagi kaya dulu...," ungkapnya saat itu. Saat kita berdua sudah terlalu jauh terpisah oleh palung terdalam yang tidak mungkin bisa diselami.
"Tapi aku akan selalu ingat saat-saat kita barengan, Ndri..." sambungnya lagi, di saat gue masih sulit menerima gambaran diri ini terbangun tanpa pesan teks dari dia lagi, tanpa gesturenya yang khas, tanpa baunya yang sudah terlalu familiar di hidung gue, dan tanpa bewoknya yang sekarang tercukur rapih tanpa sisa. Seakan ada hal baru di dalam dirinya, yang pastinya nggak ada hubungannya sama sekali dengan gue.
'Semudah itu memutuskan cukur jenggot sampai kumis ketika dulu gue sempat susah payah nyuruh lo ngelakuin hal yang sama untuk interview penting lo? Sehebat apa sih dia?' hati kecil ini susah untuk nggak monolog, terutama di saat gue membutuhkan support moral.
Bukannya menanggapi pengakuannya, gue memutuskan untuk seruput iced coffee yang sudah encer, bercampur dengan es batu di dalamnya.
"Oke," gue pun mencoba untuk tetap tenang sambil perlahan membangun tembok pertahanan agar tidak terhanyut perasaan.
Playlist di Tanamera sore itu entah kenapa memutar lagu Michael Bolton, How Am I Supposed to Live Without You?, yang malah bikin usaha gue gagal untuk bangun tembok itu.
'Dammit. Not this song. Please. I might cry in river...'
"Kamu sebenarnya bisa aja langsung cerita tentang seseorang yang selama beberapa bulan ini sering jalan bareng kamu... Nggak usah basa basi. Kayanya hubungan kita udah segitu terbukanya deh. Jadi, please... Share aja."
Dengan santainya gue seruput sisa kopi terakhir.
'Coffee is the most loyal partner in life...apparently.'
Gue melihat dia mulai mengusap peluh, walaupun temperature di ruangan itu cukup chill karena AC.
'Panik, mas?'
"Ng... Tanpa perlu aku tutupin pun kayanya kamu jauh lebih tau yah?,"
'Ya iyalah. Foolish.'
Sambungnya lagi, "Maaf Ndri..."
'Seenak udel minta maaf...'
"Jadi bener kamu jalan sama Amanda? Sahabatku yang terus ada di samping aku dari awal kita pacaran? Kok bisa ya?"
"Maaf Ndri..."
"Cukup!" teriakan gue saat itu mungkin bisa membuat pengunjung lain menujukan pandangannya ke arah meja kita.
Saat itu pula gue berdiri, menahan isak tangis dan terdiam sebentar sebelum meninggalkan tempat tersebut.
*
"Trust no one Ndri... Dari awal kan gue udah bilang kalo lo nggak bisa sepolos atau sedongo itu percaya sama orang, bahkan sama orang yang udah bertahun-tahun barengan sama lo... Macem Amanda sama Rian itu." ujar Oki, sahabat gue yang paling realistis.
"Gue pikir selama ini setiap orang itu punya kadar kepercayaan dan kebaikan yang akan digunakan untuk membalas setiap kebaikan yang mereka terima...".
Belum selesai bicara, Oki udah nyeletuk...
"Ya tapi lo juga harus terima pas mereka nggak mau bales kebaikan lo... Jatohnya lo jadi needy dan pamrih."
Rasanya mau gue underline dan highlight itu kata kata pamrih dan needy. Abis itu gue pajang di kamar, di tembok deket kasur. Jadi pas tiap bangun bisa langsung keinget, kalo gue needy bin pamrih.
"Tapi apa iya? Lo bisa kasih gue bukti kapan gue needy n pamrih sama tu dua makhluk breng*sek?"
"Nah itu. Dengan lo mempertanyakannya aja udah termasuk pamrih, Cit."
"Lah kalo needy-nya?"
"Pas lo paksa gue jawab pertanyaan itu..." Dengan santainya gubris kehaluan (baca: halusinasi) sambil ngudut Ice Blast.
"Anjiir sia!" Gue pun bersungut sungut sambil meng-iya-kan dalam hati. Oki emang logis banget. Plus sederhana gitu cara berpikirnya. Jadi tiap gue ada masalah, gue pasti langsung lari ke dia. Bukannya minta jawaban atau belas kasihan doi, tapi lebih ke ngelurusin benang di pikiran gue ulah si hati yang baper-an.
"Jadi gue harus move on, gitu?" Gue coba buka topik lagi sambil nyalain 1 batang.
"Your call lah. Kenapa nanya gue? Kalo lo nanya gitu, lo udah tau dong jawabannya..."
"Iya juga sih... Ah, Ki... Kapan sih hati ngga gampang baperan?!"
"Ya elu... Udah settingan default itu mah. Makanya lo punya nalar/otak kan... Gunain lah..."
"Oke, tapi di mana otak itu pas mata lo nangkep basah dua curut itu literally snogging each other di tempat yang sama gue sama Rian ngelakuin hal tersebut, tepat 1 minggu yang lalu?!"
..... Gue mencoba tarik napas panjang, "kadang mungkin hati memang harus nunjukkin yang sebenarnya. Salah satu caranya dengan munculin perasaan berlebihan itu. Supaya otak bisa lebih reaktif dan akhirnya jadi solutif..."
.....
....
"Mungkin aja. Tapi jadinya otak lo lemot dong, Ndri?" Selak Oki.
"Maneh!"
.
.
.
The end.